Menghargai Budaya Demi Agama

Kultur budaya jawa begitu melekat kuat pada diri Dai Angin. Hal ini pun berpengaruh pada performance dan skil dakwahnya. Pada saat road show Dai TPI di Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Dai muda yang berasal dari Wonosobo ini lebih memilih berbusana adat jawa ketimbang harus memakai jubah hitam, selendang buatan india, dan sorban putih yang sudah menjadi ciri khasnya. (foto:Dai Angin TPI) Dalam dakwahnya dai yang mendapat julukan "dai jawa kreatif" ini kerap menyenandungkan langgam jawa dan lagu-lagu campursari sebagai pewarna dari penampilannya yang dikemas dengan format Nada dan Dakwah.

Pernah pada suatu acara di Bandung, Dai Angin yang dari Wonosobo (jawa) dikolaborasikan dengan Dai Asep yang dari Purwakarta (sunda). Sehingga pengajiannya pun terkesan menjadi duet tausiah 2 kebudayaan, jawa dan sunda. Dai Angin tampil dengan membawa wayang kulit Gatotkaca, sementara Dai Asep membawa wayang golek Cepot. (foto:Dai Angin dan Dai Asep)

Kultur jawanya ini juga sangat mempengaruhi jam terbang dakwahnya diluar pulau. Hal ini dikarenakan Dai Angin adalah satu-satunya finalis dari 20 finalis Dai TPI yang bisa berbahasa jawa dan membawakan dakwah dengan gaya jawa tulen. Sehingga ketika masyarakat jawa yang berada diluar pulau menginginkan Dai TPI yang bisa berbahasa jawa untuk tampil di daerahnya, mendatangkan Dai Angin pun menjadi harga mati.

Berikut penggalan komunikasi Nafis Muzdalifah (Akhwat dari Sleman, Yogyakarta) dengan Dai Angin yang dilakukan via telepon perihal petualangan Dai Angin di luar pulau dengan kultur jawanya.

Bagaimana jika ustad tampil di hadapan jamaah dari suku lain yang tidak mengerti bahasa jawa?
tentu saya memakai bahasa indonesia, kalau dipaksakan memakai bahasa jawa yo ndak pada mudeng. sama saja sampean kan orang jawa, kira-kira mudeng ndak kalau menyaksikan pengajian sementara si penceramah memakai bahasa Timor Leste.ha..ha..

Selain jamaah dari suku jawa. Jamaah dari suku mana saja yang sering mengundang ustad?
Suku Kutai (kalimantan) mbak! karena mereka sangat menyukai pengajian dengan metode nada dan dakwah. Selain itu jamaah dari suku Banjar(Kalimantan) dan Bugis (Sulawesi), biasanya mereka mengundang saya untuk tausiyah pada acara walimahan nikah.
(foto:Dai Angin & anak-anak suku dayak)

ustad sendiri sudah nikah?
Belum! tapi calon ada 45, ha..ha.. jadi 46 kalau sampean juga ikut mencalonkan diri, ha...ha...

seberapa banyak orang jawa diluar pulau?
Banyak mbak! orang jawa banyak tersebar diluar pulau, bisa jadi ini lantaran program transmigrasi atau memang mental orang jawa yang suka merantau. Bahkan di Kalimantan Timur sebagian besar masyarakatnya terdiri dari wong jawa, khususnya dari Jawa Timur. Makanya saya lebih sering berada disana daripada berada di jawa.

apa suka dukanya saat berceramah diluar pulau?
Sukanya saya jadi tau dan mengenal adat kebudayaan daerah lain, tambah kenalan, tambah pengalaman dan bisa melihat peluang kerja yang ada diluar pulau untuk disampaikan kepada teman-teman di Wonosobo yang masih nganggur.
Dukanya ya karena sering berada diluar kota atau luar pulau, saya terkadang merasa bersalah pada kampung halaman sendiri. Karena saya belum bisa berbuat banyak dan berpartisipasi dalam syi'ar islam di Wonosobo.


Wah pantas kenapa orang jawa yang ada diluar pulau lebih mengenal Dai Angin daripada orang Wonosobo sendiri. Jarang di rumah to tad? (copy artikel nafis muzdalifah. foto: doc Dai TPI)